Loading



Kosong

AGEE COMPUTER | 6:33 AM | |


Waktu berlalu. Bahkan saat rasanya mustahil, waktu tetap terus berjalan. Bahkan di setiap detik pergerakan jarum jam terasa menyakitkan, bagai denyut nadi di balik luka memar. Waktu seakan berlalu di jalan yang tidak rata, bergejolak dan di seret-seret, namun terus berjalan. Bahkan bagiku.

Aku pura-pura bodoh, menunduk memandang meja. Kemarahan itu nyaris, meski tidak sampai, mencapai wajahku. Sudah lama sekali wajahku tak pernah lagi membara oleh emosi apa pun.
Kabut tebal yang mengaburkan hari-hariku kini terkadang membingungkan. Aku tidak melawan kabut yang menyelubungi pikiranku saat berpaling menghadapi kenyataan. Sungguh menyedihkan menyedari diriku bukan lagi tokoh utama, bahwa kisahku sudah berakhir.

Sesuatu yang asing berdesir dalam pembuluh darahku. Aku menyadari, ada yang sudah absent dalam diriku, menggenjot denyut jantungku, dan nadiku semakin cepat berjuang melawan hilangnya sensasi. Untuk pertama kali dalam kurun waktu lama, aku tidak tahu harus mengharapkan apa esok pagi.

Hujan,
Hujan dingin menetes-netes dari rambutku, kemudian mengalir menuruni pipi bagai airmata. Air hujan membantuku menjernihkan kepalaku. Aku mengerjap-ngerjapkan air dari mataku, menatap kosong ke seberang jalan. Setelah memandang satu menit! Barulah aku menyadari dimana aku berada.



Kupandangi cahaya keperakan pucat yang menerobos jendela kamarku, terperangah. Untuk pertama kalinya dalam empat bulan lebih, aku bisa tidur tanpa bermimpi. Bermimpi atau menjerit. Entah emosi mana yang lebih kuat – lega ataukah shock. Aku berbaring diam di tempat tidurku selama beberapa menit, menunggu perasaan itu datang kembali. Sekarang setelah aku benar-benar terbangun, kehampaan mimpi itu menggerogoti saraf-sarafku, seperti anjing mengkhawatirkan di mana tulangnya dikubur.

Kutatap jalan tanah yang membentang panjang dihadapanku, diapit disisi kiri dan kanannya dengan tetumbuhan hijau rimbun berkabut, jalannya berpasir dan lembab. Terpaan angin kencang meniup kulitku hingga melekat erat di tengkorak dan menerbangkan rambut-rambutku ke belakang dengan kekuatan sangat besar, seolah-olah ada yang menariknya.

Aku tidak suka membayangkan akan kehilangan kedekatanku dengan kenangan tak menyakitkan itu, meski hanya beberapa detik — kenangan yang datang sendiri, tanpa perlu memikirkan secara sadar. Ada satu tempat yang terlintas dalam benakku. Satu tempat yang akan selalu menjadi miliknya, bukan milik orang lain. Tempat yang magis, penuh cahaya. Padang rumput indah yang hanya pernah kulihat sekali dalam seumur hidupku, benderang oleh sinar matahari dan kulitnya berpendar gemerlap.

Aku bagaikan bulan tersesat — bergerak dalam orbit yang kecil dan sempit mengitari ruang angkasa yang kini kosong melompong, mengabaikan hukum gravitasi.
Aku ini cangkan kosong. Ibarat rumah tak berpenghuni, ditinggalkan selama berbulan-bulan tak bisa didiami, KOSONG.


Lubang didadaku semakin besar, parah. Kusangka aku sudah bisa mengendalikannya, tapi aku mendapati diriku meringkuk, setiap hari, sambil mencekeram pinggang dan megap-megap kehabisan udara. Aku tak mampu menghadapi kesendirian dengan baik.

*Ungkapan tentang perasaan tiga tahun yang lalu, merasakan kekosongan dan kerapuhan sebelum aku menemukan sebenarnya aku mencinta.