.
.
::: Kenangan cerita tentang masa kecil sang gadis lugu yang tengah bermain dengan sang hujan. Tertawa gembira, tiada gurat sendu di wajahnya, terlihat tak terbebani oleh kejam sang kehidupan.
Ketika ia melintasi sungai yang tergenang oleh kumpulan rinai hujan, ia berhenti sejenak meluangkan sedikit waktu untuk mengamati sang aliran air. Ia menemukan empat perahu kertas yang penuh warna, satu, dua, tiga, empat… Keempat perahu kertas itu seperti sedang berlomba menuju garis finish yang telah ditentukan. Dipungutnya salah satu perahu kertas tadi, dan ia membuka lipatan demi lipatan. Ada beberapa kalimat pada perahu kertas itu yang membuat ia tertarik. Ia tertegun sekejap, dan kemudian ia berlari mengejar tiga perahu kertas yang masih berlomba.
Satu persatu ia membuka lipatannya, di bukanya pelan-pelan agar tidak ada yang robek pada sisi-sisinya. Ada pesan di dalam perahu kertas itu, pesan dari seseorang di tujukan untuk Tuhan beserta alam. Sang gadis mengurutkan pesan dari ketiga perahu kertas itu, dan dibacanya satu-persatu.
::: Perahu kertas pertama berbunyi:
Tuhan, beserta sekalian alam, aku ingin memohon kepadamu. Lindungi ibu dan ayahku di surga. Jauhkanlah mereka dari siksaanmu, dan sayangi mereka seperti mereka menyayangiku ketika aku kecil. Meski hanya beberapa tahun aku bersama mereka, namun mereka adalah orang tuaku yang membesarkan aku. Jagalah mereka ya Tuhan. Esok hari aku akan menemui mereka, memeluk mereka, dan bercerita tentang perjalanan hidup yang telah aku lewati. Tentang kebahagiaanku, bahkan kekecewaanku. Tuhan, katakan pada mereka, aku menyayangi mereka, bibirku selalu tak luput mendoakan untuk mereka.::: Perahu kertas kedua berbunyi:
Tuhan, beserta sekalian alam. Hari ini umurku menginjak 20 tahun, dan aku sedang merasakan jatuh cinta. Cinta pertama pada seorang pemuda tampan yang mempunyai jiwa seperti Muhammad saw. Tuhan, ijinkan aku menyayangi dia, jika Engkau tak merestui aku dan ciptaan-Mu yang sempurna itu bersatu. Aku tak ingin lancang memiliki seseorang jika itu bukan untukku, karena Engkau maha mengetahui yang terbaik untukku.
::: Perahu kertas ketiga berbunyi:
Tuhan, dan beserta alam. Umurku hari ini 20 tahun. Aku pun tak tahu batas umurku, aku tak tahu batas umur diambang kematianku. Tuhan, aku ingin selalu menjalankan semua perintah-Mu, menjalankan semua kewajiban yang engkau perintahkan tanpa memikirkan hak yang aku peroleh, karena aku ingin berbakti dan mendapatkan tempat di sisi-Mu. Tuhan, jika umurku panjang, berilah aku kesehatan agar senantiasa aku selalu bersujud pada-Mu. Jika Engkau memberikan umur pendek, aku ingin di akhir hayat dan ketika aku menghembuskan nafas, aku tak bergelimangan dosa.Kemudian gadis itu membuka perahu kertas yang keempat:
::: Kosong.
Tiada pesan yang tertulis di situ.
Gadis itu segera beranjak, dan berlari. Ia menelusuri sungai kecil, mencari seseorang penulis pesan kepada Tuhan. Ia berlari tanpa memperdulikan hujan yang semakin menepi, dingin mengigil tubuhnya. Tak lama ia menemukan seorang gadis berpayung biru berdiri di depan sungai kecil, memegang sebuah perahu kertas warna ungu.
Gadis kecil itu mendekat kepada gadis berpayung biru. Di sapanya sang gadis berpayung biru dengan ramah.
“Kakak yang menulis tulisan-tulisan ini bukan?” Ditunjukannya empat lembar kertas.
Gadis itu mengangguk, tersenyum manis.
“Namaku Shinta, nama kakak siapa?” Gadis itu tersenyum. Kemudian ia menuliskan sesuatu pada catatan kecilnya, kemudian ditunjukkannya sebuah nama. RIA.
“Kakak bisu?” Gadis bernama Ria itu menggeleng.
“Lalu kenapa kakak menulis semua ini?”
“Aku hanyalah seorang gadis yang tak sanggup berdiri pada kehidupan, hanya doa-doa yang menguatkan aku. Aku senang sekali menuliskan doa pada secarik kertas, lalu ku buat perahu agar ia berjalan sampai tempat tujuan yang ingin ia capai, aku ingin doaku terwujud pada keadaan apapun. Hidupku seperti itu, seperti perahu kertas itu, berjalan seperti air mengalir, dan tak selamanya lurus ke depan. Perahu kertas itu mengingatkan aku pada perjalanan hidup. Hanya doa dan sebuah usaha juga keyakinan yang mampu membuatku hidup hingga sekarang.” Diam sejenak. “Aku harus pergi, hujan sudah menepi. Terima kasih kamu sudah memungut perahu-perahu kertasku. Disitu ada lembar kosong, kamu boleh menuliskan sesuatu di dalamnya, perbincangkanlah pada alam.”
Ria kemudian berbalik, berhenti sejenak, dan kemudian berbalik lagi menatap gadis kecil itu, tersenyum.
Gadis kecil bernama Shinta meneruskan perjalanan pulang, sambil menggenggam lembaran kertas, yang terlipat-lipat, membawa kenangan “perahu kertas” dari Ria. Perahu kertas itu yang mengingatkan betapa hidup itu tak selalu berjalan dengan mulus, sesekali ia menabrak, dan sesekali ia berjalan terus hingga pada garis finish kehidupan yang telah Ia tentukan.